Sabtu, 25 Februari 2012

Hello, 21?

Hello, 21?
Rasanya baru kemarin aku berjalan di tepi dunia kecilku, bersama jiwa kekanakanku. Rasanya baru kemarin kaki kecil ini belajar melangkah, bersiap untuk menapaki hidup, demi hari ini. Sungguh, tak terasa kini aku setua itu. Aku menghabiskan pagiku dengan sholat subuh, dan kemudian melanjutkan tidurku. Aku menjalani hari-hari siangku dengan ngobrol di kampus seusai kuliah. Aku memilih menghabiskan soreku bareng anak kost an, atau makan barengtemen-temen pers, dan bahkan kadang menyurutkan waktu soreku di kampus untuk hal hal nggak terduga. Jalan-jalan dengan melihat-lihat toko baru dan makan di bawah payung warna-warni diluar kafe. Apakah pantas di usiaku kini?

Rasanya benar-benar baru kemarin ayah mengajarkanku naik sepeda berroda empat itu. Selama ini aku terlalu sibuk tumbuh dewasa, tanpa aku sadar Ayah dan Ibuku juga tambah tua.

Inilah aku di dunia kecilku. Dengan teman-teman yang tak kecil lagi. Di sini, kita berkomunikasi dengan bahasa yang tidak kumengerti saat aku kecil. Di sini, teman-temanku tidak menulis puisi di kertas binder lagi. Mereka lebih sering membicarakan isi koran dan gosip infotainment dengan segelas float atau secangkir kopi di dalam gelas styrofoam, lalu berangkat kuliah dengan mimpi untuk mengubah negeri ini. Bukan teman-teman kecilku yang membawa sebotol susu untuk bekal, tanpa mimpi apapun ketika mulai memasuki gerbang SD.

Di dunia kecilku yang sekarang, teman-temanku tidak lagi menggambar rumah pohon, dermaga merah, hujan dan sawah serta isyarat pelangi. Mereka terlalu sibuk dengan tugas kuliah masing-masing, dan memilih untuk memanjakan diri di salon atau spa. Memilih berbelanja di Mall dan menghabiskan sisa uang sakunya di toko terkenal. Bukan lagi bermain boneka atau ular tangga.

Teman-teman kecilku di dunia kecilku yang sekarang, mungkin tidak berkisah tentang peri-peri dan cinderela. Mereka tidak bersyair tentang cinta pertama dan mendendangkan mimpi. Tapi mereka telah mengenal apa itu cinta. Mereka tidak menangis karena tersengat lebah atau jatoh dari sepeda. Tapi mereka menangis karena merindukan seseorang di hatinya. Dan mereka mengerti, mereka tak perlu permen untuk menghentikan tangis mereka. Mereka hanya butuh satu sms penunda galau. Karena hal itu akan lebih sering menyerang mereka.

Bukankah itu yang paling berarti? Aku sama seperti mereka. Sekarang, aku bukan lagi anak-anak dengan dunia ajaib yang suka bermain di tempat becek. Bukan lagi bocah yang menyuruh ibunya membuatkan kuncir di atas rambutnya. Aku tak lagi menangis karena tergores pisau. Aku bahkan lebih sering menangis karena patah hati. Aku mungkin telah menjadi dewasa, di mata anak-anak kecil itu. Benarkah?

0 komentar:

Posting Komentar