Kamis, 01 Desember 2011

Bahan Cemaran Pangan

I.       PENDAHULUAN


Pangan merupakan kebutuhan mendasar manusia yang paling pokok. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hak asasi utama umat manusia, karena hanya dengan pemenuhan pangan yang layak dan aman dikonsumsi manusia dapat tumbuh dan berkembang. Pangan yang layak dikonsumsi harus ada dalam keadaan normal dan tidak menyimpang dari karakteristik yang seharusnya dimiliki, yaitu harus bebas dari bahaya biologis, kimia dan fisika yang membahayakan kesehatan manusia. Dari sudut pandang inilah keamanan pangan merupakan suatu keharusan (Widodo, 2003).
Keamanan makanan merupakan suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegahnya dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (Balai POM RI, 2003). Selain itu keamanan makanan juga dimaksudkan untuk menjamin persediaan makanan yang bebas dari pencemaran bahan-bahan kimia berbahaya dan cemaran mikroba yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
            Pangan tradisional pada umumnya memiliki kelemahan dalam hal keamanannya terhadap bahaya biologi atau mikrobiologi, kimia, dan fisik. Adanya bahaya atau cemaran tersebut seringkali terdapat dan ditemukan karena rendahnya mutu bahan baku, teknologi pengolahan, belum diterapkannnya praktek sanitasi dan higiene yang memadai, dan kurangnya kesadaran pekerja maupun produsen yang menangani pangan tradisional. Seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran akan kesehatan terhadap pangan yang dikonsumsi, mengkonsumsi pangan yang aman merupakan hal yang harus diperhatikan oleh produsen dan konsumen.
            Jika tidak dipilih secara hati-hati atau tidak diolah dengan cara-cara yang benar, pangan dapat membahayakan kesehatan konsumen yang menyantapnya, karena bisa tercemar oleh bahan¬bahan berbahaya. Bahan-bahan berbahaya itu masuk bersama-sama dengan pangan ke dalam tubuh dan menimbulkan penyakit atau keracunan. Ada beberapa jenis bahaya dalam pangan, yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu: bahaya biologis, bahaya kimia dan bahaya fisik.



II.    PEMBAHASAN
A.    Cemaran Fisik
Pada makanan, bahaya tersebut dapat terjadi melalui berbagai cara: dari pangan itu sendiri, pekerja, peralatan, proses pengolahan dan pembersihan serta dari konsumen. Makanan dapat dikatakan tidak aman atau terkontaminasi oleh cemaran fisika apabila  terdapat kotoran yang kasat mata atau benda-benda fisik. Contohnya, pecahan gelas, pecahan lampu, pecahan logam, paku, potongan kawat, kerikil, stapler, rambut, bulu binatang, karet dan benda asing lainnya. Cemaran fisika akan merusak kualitas dan mutu dari makanan tersebut, dan tentu juga dapat membahayakan manusia jika termakan dan masuk ke dalam alat-alat pencernaan. Meskipun bahaya fisik tidak selalu menyebabkan terjadinya penyakit atau gangguan kesehatan, tetapi bahaya ini dapat menjadi pembawa atau carier bakteri-bakteri patogen dan tentunya dapat mengganggu nilai estetika makanan yang akan dikonsumsi.
Beberapa bahan pangan yang terindikasi telah tercemar cemaran fisika seprti; bahan pangan atau makanan yang kotor karena tercemar benda-benda asing seperti pecahan gelas, potongan tulang, potongan kayu, kerikil, rambut, kuku, sisik dan sebagainya. Makanan yang dibungkus plastik atau daun dengan menggunakan stapler beresiko bahaya fisik, karena stapler yang terlepas dapat masuk ke dalam makanan tanpa diketahui.

B.     Cemaran Biologis
Bahaya biologis atau mikrobiologis terdiri dari parasit (protozoa dan cacing), virus, kapang, dan bakteri patogen yang dapat tumbuh dan berkembang di dalam bahan pangan, sehingga dapat menyebabkan infeksi dan keracunan pada manusia. Beberapa bakteri patogen juga dapat menghasilkan toksin (racun), sehingga jika toksin tersebut terkonsumsi oleh manusia dapat menyebabkan intoksikasi. Intoksikasi adalah kondisi ketika toksin sudah terbentuk di dalam makanan atau bahan pangan, sehingga mengindikasikan keadaan berbahaya. Sekalipun makanan atau bahan pangan sudah dipanaskan sebelum disantap, toksin yang sudah terbentuk masih tetap aktif dan bisa menyebabkan keracunan meski bakteri tersebut sudah tidak terdapat dalam makanan.
·                     Mikrobia
1.      Bakteri patogenik
·         Staphylococcus aureus
              Pangan asal ternak berisiko tinggi terhadap cemaran mikroba pembusuk atau patogen yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Dengan karakteristik yang  khas, produk ternak merupakan media yang disukai mikroba sebagai tempat tumbuh dan berkembang. Setelah dipotong, mikroba mulai merusak jaringan sehingga bahan pangan hewani cepat mengalami kerusakan bila tidak mendapat penanganan yang baik. Mikroba pada produk ternak terutama berasal dari saluran pencernaan. Beberapa jenis penyakit yang ditimbulkan oleh pangan asal ternak adalah penyakit antraks, salmonelosis, brucellosis, tuberkulosis, klostridiosis, dan penyakit akibat cemaran Staphylococcus aureus.

·         Campylobacter jejuni
              Seperti daging hewani lainnya, daging unggas cocok sebagai media perkembangan mikroba, karena unggas cenderung berada di lingkungan yang kotor. Selain hidup dalam kondisi kotor, cemaran daging unggas di Indonesia juga dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat pengetahuan peternak, kebersihan kandang, serta sanitasi air dan pakan. Sanitasi kandang yang kurang baik dapat menyebabkan timbulnya cemaran mikroba patogen yang tidak diinginkan.
              Karkas ayam mentah paling sering dikaitkan dengan cemaran Salmonella dan Campylobacter yang dapat menginfeksi manusia. Campylobacter jejuni merupakan salah satu bakteri patogen yang mencemari ayam maupun karkasnya. Cemaran bakteri ini pada ayam tidak menyebabkan penyakit, tetapi mengakibatkan penyakit yang dikenal dengan nama campylobacteriosis pada manusia.Penyakit tersebut ditandai dengan diare yang hebat disertai demam, kurang nafsu makan, muntah, dan leukositosis.

·         Salmonella
              Telur merupakan produk unggas yang selalu dihubungkan dengan cemaran Salmonella yang berasal dari kotoran ayam dalam kloaka atau dalam kandang. Secara alami, cangkang telur merupakan pencegah yang baik terhadap cemaran mikroba. Cemaran bakteri dapat terjadi pada kondisi suhu dan kelembapan yang tinggi.
              Cemaran pada telur bebek lebih banyak dibanding pada telur ayam. Apabila penanganan telur tidak dilakukan dengan baik, misalnya kotoran unggas masih menempel pada cangkang telur, maka kemungkinan Salmonella dapat mencemari telur, terutama saat telur dipecah. Cemaran mikroba tersebut dapat dikurangi dengan cara mencuci dan mengemas telur sebelum dipasarkan. Salmonelosis merupakan penyakit yang diakibatkan oleh cemaran Salmonella dan dapat menyebabkan rematik, meningitis, abses limpa, pankreatitis, septikemia, dan osteomielitis.

·         E. coli, Brucella sp., Bacillus cereus, Listeria monocytogenes, Campylobacter sp.
              Beberapa bakteri patogen yang umum mencemari susu adalah Brucella sp., Bacillus cereus, Listeria monocytogenes, Campylobacter sp., Staphylococcus aureus, dan Salmonella sp. Bakteri E.coli dalam air susu maupun produk olahannya dapat menyebabkan diare pada manusia bila dikonsumsi.
              Susu merupakan bahan pangan yang berasal dari sekresi kelenjar pada hewan mamalia seperti sapi, kambing, kerbau, dan kuda. Susu mengandung protein, lemak, laktosa, mineral, vitamin, dan sejumlah enzim. Susu yang berasal dari sapi sehat dapat tercemar mikroba non patogen yang khas segera setelah diperah. Pencemaran dapat berasal dari sapi, peralatan pemerahan, ruang penyimpanan yang kurang bersih, debu, udara, lalat dan penanganan oleh manusia.
              Kandungan mikroba yang tinggi menyebabkan susu cepat rusak. Pertumbuhan mikroba dalam susu dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan susu, yang ditandai oleh perubahan rasa, aroma, warna, konsistensi, dan penampakan. Oleh karena itu, susu segar perlu mendapat penanganan dengan benar, antara lain pemanasan dengan suhu dan waktu tertentu (pasteurisasi) untuk membunuh mikroba yang ada.

·         Shigella sp, Vibrio cholera, Listeria monocytogenes, Clostridium sp
              Buah dan sayur dapat tercemar oleh bakteri patogen yang berasal dari air yang tercemar limbah, tanah, atau kotoran hewan yang digunakan sebagai pupuk. Tingkat cemaran akan meningkat pada bagian tanaman yang ada di dalam tanah atau dekat dengan tanah. Air irigasi yang tercemar Shigella sp., Salmonella sp., E. coli, dan Vibrio cholerae dapat mencemari buah dan sayur. Selain itu, bakteri Bacillus sp., Clostridium sp., dan Listeria monocytogenes dapat mencemari buah dan sayur melalui tanah.
              Tingkat cemaran mikroba tergantung dari lamanya waktu sejak sayuran dipanen hingga dipasarkan karena memungkinkan mikroba tumbuh dan berkembang. Penanganan dan pemasakan yang baik dan benar dapat mematikan bakteri patogen tersebut, kecuali bakteri pembentuk spora yang dapat menghasilkan zat karsinogen. Listeria monocytogenes dapat  menyebabkan penyakit ringan seperti flu hingga penyakit berat seperti meningitis dan meningoensefalitis. Sementara patogen bawaan dari makanan seperti Clostridium botulinum sangat berkaitan dengan penyakit ekstraintestinal akut, yang dapat menyebabkan sindrom neuroparalisis dan sering kali berakibat fatal.


·         Proteus morganii, Klebsiella pneumoniae, Hafnia alvei, Vibrio vulnificus, Vibrio parahaemolyticus
              Seperti produk hewani lainnya, ikan merupakan sumber pangan yang mudah rusak. Dengan kandungan air dan protein tinggi, ikan merupakan tempat sangat cocok sebagai media untuk pertumbuhan mikroba baik patogen maupun nonpatogen. Kerusakan ikan terjadi segera setelah ikan keluar dari air, namun aktivitas mikroba yang akan merusak daging ikan baru terjadi setelah ikan melewati fase rigor mortis.
              Kerusakan ikan ditandai dengan adanya lendir di permukaan ikan, insang memudar (tidak merah), mata tidak bening, berbau busuk,  dan sisik mudah terkelupas. Ikan dari perairan pantai sering kali tercemar oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus yang dapat menular pada saat transportasi maupun pemasaran. Bakteri sering mengkontaminasi produk perikanan umumnya merupakan bakteri Vibrio vulnificus dan V. Cholerae.
              Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan, cemaran bakteri Vibrio sp. dalam produk pangan harus negatif, artinya tidak boleh ada. Bakteri patogen lainnya adalah yaitu Proteus morganii, Klebsiella pneumoniae, dan Hafnia alvei. Tiga spesies bakteri tersebut sering mencemari ikan laut dari famili Scombroidei yang banyak terdapat di perairan Indonesia.
              Kasus keracunan histamin pada mulanya lebih dikenal sebagai keracunan scombroid karena melibatkan ikan dari famili Scombroidei,  yaitu tuna, bonito, tongkol, mackerel, dan seerfish. Jenis ikan tersebut mengandung histidin bebas dalam jumlah besar pada dagingnya, yang pada kondisi tertentu dapat diubah menjadi histamin karena adanya aktivitas enzim histidine dekarboksilase dari bakteri yang mencemari ikan tersebut. Gejala keracunan histamin dimulai beberapa menit sampai beberapa jam setelah ikan dikonsumsi.



2.      Kapang
·         Aspergillus flavus dan A. Parasiticus
            Kapang merupakan jenis mikroba yang menyerang tanaman pangan, terutama serealia dan kacang-kacangan. Serangan kapang dapat terjadi saat tanaman masih di ladang (cemaran prapanen), maupun selama penanganan pascapanen. Kapang yang umum mencemari serealia dan kacang-kacangan adalah Aspergillus flavus dan A. Parasiticus yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia karena menghasilkan racun aflatoksin.
Kedua jenis kapang ini dapat menghasilkan Aflatoksin yang merupakan secondary metabolic products dan bersifat toksik bagi manusia. Aflatoksin merupakan molekul kecil yang tidak suka terhadap air, tahan terhadap perlakuan fisik, kimia maupun biologis dan tahan terhadap suhu tinggi. Aflatoksin yang umum dijumpai adalah aflatoksin B1, B2, G1, G2, M1, dan M2. Dari enam jenis aflatoksin tersebut, yang paling berbahaya bagi kesehatan manusia adalah aflatoksin B1. Selain aflatoksin, fumonisin juga merupakan salah satu mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang dari spesies Fusarium moniliforme.
Jagung yang tercemar Aspergillus

·         Aspergillus ochraceus
           Secara alami A. ochraceus terdapat pada tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian, kacang-kacangan dan buah-buahan. Menghasilkan toksin yang sangat berbahaya yaitu Okratoksin. Okratoksin, terutama Okratoksin A (OA) diketahui sebagai penyebab keracunan ginjal pada manusia maupun hewan, dan juga diduga bersifat karsinogenik.
           Selain pada produk tanaman, ternyata OA dapat ditemukan pada berbagai produk ternak seperti daging babi dan daging ayam.  Hal ini karena OA bersifat larut dalam lemak sehingga dapat tertimbun di bagian daging yang berlemak.  Manusia dapat terekspose OA melalui produk ternak yang dikonsumsi.

·         Penicillium viridicatum
            P.viridicatum Menghasilkan racun Ocratoksin A. tumbuh pada suhu antara 0 – 310 C dengan suhu optimal pada 200C dan pH optimum 6 – 7. Selain dihasilkan oleh kapang A.ochraceus, OA juga dapat dihasilkan oleh Penicillium viridicatum (Kuiper-Goodman, 1996) yang terdapat pada biji-bijian di daerah beriklim sedang (temperate), seperti pada gandum di eropa bagian utara. Saat ini diketahui sedikitnya 3 macam Okratoksin, yaitu Okratoksin A (OA), Okratoksin B (OB), dan Okratoksin C (OC).  OA adalah yang paling toksik dan paling banyak ditemukan di alam.

·         Fusarium graminearum, F.tricinctum, dan F. moniliforme.
            Zearalenon adalah toksin estrogenik yang dihasilkan oleh kapang Fusarium graminearum, F.tricinctum, dan F. moniliformeKapang ini tumbuh pada suhu optimum 20 – 250C dan kelembaban 40 – 60 %. Zearalenon pertama kali diisolasi pada tahun 1962.  Mikotoksin ini cukup stabil dan tahan terhadap suhu tinggi. 
            Hingga saat ini paling sedikit terdapat 6 macam turunan zearalenon, diantara nya α-zearalenol yang memiliki aktivitas estrogenik 3 kali lipat daripada senyawa induknya. Senyawa turunan lainnya adalah 6,8-dihidroksizearalenon, 8-hidroksizearalenon, 3-hidroksizearalenon, 7-dehidrozearalenon, dan 5- formilzearalenon. Komoditas yang banyak tercemar zearalenon adalah jagung, gandum, kacang kedelai, beras dan serelia lainnya. 

·         Trichoderma, Myrothecium, Trichothecium dan Stachybotrys
            Toksin Trikotesena  dihasilkan oleh kapang Trichoderma, Myrothecium, Trichothecium dan Stachybotrys. Mikotoksin golongan ini dicirikan dengan adanya inti terpen pada senyawa tersebut. Toksin yang dihasilkan oleh kapang-kapang tersebut diantaranya adalah toksin T-2 yang merupakan jenis trikotesena paling toksik. Toksin ini menyebabkan iritasi kulit dan juga diketahui bersifat teratogenik. Selain toksin T-2, trikotesena lainnya seperti deoksinivalenol, nivalenol dapat menyebabkan emesis dan muntah-muntah (Ueno et al., 1972 dalam Sinha, 1993).

·         F. proliferatum, F.nygamai, F. anthophilum, F. diamini dan F. Napiforme
            Kapang-kapang tersebut dapat menghasilkan racun Fumonisin. Fumonisin termasuk kelompok toksin fusarium yang dihasilkan oleh kapang Fusarium sp., terutama F. moniliforme dan F. proliferatumMikotoksin ini relatif baru diketahui dan pertama kali diisolasi dari F. moniliforme pada tahun 1988 (Gelderblom, et al., 1988).  Selain F. moniliforme dan F. proliferatum, terdapat pula kapang lain yang juga mampu memproduksi fumonisin, yaitu F.nygamai, F. anthophilum, F. diamini dan F. napiforme
            F. moniliforme tumbuh pada suhu optimal antara 22,5 – 27,50 C dengan suhu maksimum 32 - 370C.  Kapang Fusarium ini tumbuh dan tersebar diberbagai negara didunia, terutama negara beriklim tropis dan sub tropis.  Komoditas pertanian yang sering dicemari kapang ini adalah jagung, gandum, sorgum dan berbagai produk pertanian lainnya.
            Hingga saat ini telah diketahui 11 jenis senyawa Fumonisin, yaitu Fumonisin B1 (FB1), FB2, FB3 dan FB4, FA1, FA2, FC1, FC2, FP1, FP2 dan FP3.  Diantara jenis fumonisin tersebut, FB1 mempunyai toksisitas yang dan dikenal juga dengan nama Makrofusin. FB1 dan FB2 banyak mencemari jagung dalam jumlah cukup besar, dan FB1 juga ditemukan pada beras yang terinfeksi oleh F.proliferatum. 
            Keberadaan kapang penghasil fumonisin dan kontaminasi fumonisin pada komoditi pertanian, terutama jagung di Indonesia telah dilaporkan oleh Miller et al. (1993), Trisiwi (1996), Ali et al., 1998 dan Maryam  (2000). Keberadaannya perlu diwaspadai mengingat mikotoksin ini banyak ditemukan bersama-sama dengan aflatoksin sehingga dapat meningkatkan toksisitas kedua mikotoksin tersebut (Maryam, 2000).
3.      Parasit
·         Liver fluke dan Fasciola hepatica
            Cacing diketahui terdapat pada hasil-hasil peternakan, misalnya Fasciola hepatica yang ditemukan pada daging atau hati sapi. Adanya cemaran cacing tersebut akan mengakibatkan infeksi pada manusia jika mengkonsumsi daging atau hati sapi yang tidak dimasak dengan baik. Liver fluke dan Fasciola hepatica akan berpindah dari tanah ke selada air akibat penggunaan kotoran kambing atau domba yang tercemar sebagai pupuk kandang. Buah dan sayur dapat tercemar oleh mikroba patogen yang berasal dari air yang tercemar limbah, tanah, atau kotoran hewan yang digunakan sebagai pupuk, dan pada akhirnya dikonsumsi oleh manusia.
4.      Virus
·         Hepatitis A
            Adanya virus tersebut di dalam makanan mungkin disebabkan oleh  pencemaran terhadap air yang digunakan dalam penanganan bahan pangan, penggunaan peralatan dan wadah yang tidak higienis, cara penanganan yang tidak aseptis, pekerja yang terinfeksi karena kurangnya fasilitas toilet dan pencuci tangan, kurangnya praktek kebersihan, dan penyakit yang diderita, penggunaan kemasan yang tidak steril atau tercemar oleh kotoran dari binatang pengerat, burung, dan serangga.
·         Binatang ternak, Hewan peliharaan, Binatang pengerat : tikus, kecoa, Serangga: lalat, kecoa, dsb
C.    Cemaran Kimia
1.      Kimia Alami
·         Palotoksin pada jamur
            Beberapa jamur diketahui mengandung Amatoksin dan Palotoksin yang ada didalamnya bisa menyebabkan pusing, mual, muntah, sakit perut parah sampai dengan diare.
·         Asam jengkolat pada jengkol
            Makanan yang sering dijumpai oleh kita dibeberapa rumah makan di kota Jakarta ini ternyata mengandung Asam Jengkolat yang dapat mengakibatkan penyakit yang menyerang saluran kencing. Keracunan jengkol ditandai dengan sedikitnya air kencing yang dihasilkan, serta rasa pegal dan melilit di daerah pinggang. Keracunan ini timbul biasanya karena seseorang mengkonsumsi jengkol mentah. Jengkol mentah memiliki kadar asam yang lebih tinggi dibandingkan dengan jengkol yang sudah di masak. Oleh karena itu, masaklah dengan matang jengkol, agar benar-benar aman untuk dikonsumsi.
·         HCN pada daun singkong
            Makanan khas penduduk Indonesia ini mengandung racun yang bernama Linamarin dan Lotaustralin yang termasuk golongan Siaogenik. Racun-racun ini memiliki manifestasi buruk bagi tubuh kita, yakni : Mual, muntah, pusing, sesak nafas dan percepatan denyut nadi jantung.
·         Tetradotoksin pada ikan buntel
            Tetrodoktosin bisa menyebabkan gatal, pusing, pucat, mati rasa pada mulut dan ujung badan, sakit perut dan perdarahan.
·         Patulin terdapat pada Apel, anggur, dan buah-buahan lain.
·         Aflatoksin pada Jagung,kacangtanah,biji kapas, kopra, beras, susu dan kacang-kacangan lainnya.
·         Fumonisin pada Jagung,barlei, sorghum, wijen, minyak jagung.
·         Zearalenon pada serealia
·         Okratoksin pada Gandum,jagung,barlei, kacang tanah, biji-bijian
·         Asam Bongkrek pada tempe bongkrek dan ampas kelapa.

2.      Kimia buatan
·         Bahan Tambahan Pangan (BTP)
            BTP Adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mengawetkan makanan, membentuk makanan menjadi lebih baik, renyah dan lebih enak di mulut, memberikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah selera, meningkatkan kualitas pangan dan menghemat biaya. Penggunaan BTP dalam jumlah yang diizinkan, tidaklah berbahaya terhadap kesehatan konsumen.
            Tetapi, jika menggunakan BTP secara berlebihan atau jika menggunakan bahan tambahan terlarang didalam makanan, akan menyebabkan gangguan kesehatan bagi tubuh. Beberapa bahan tambahan terlarang untuk pangan terakumulasi didalam tubuh dan telah terbukti dapat menyebabkan kanker yang gejalanya tidak dapat terlihat langsung setelah mengkonsumsi makanan. Bahan pewarna, pengawet dan pemanis buatan merupakan bahan tambahan pangan yang sering disalahgunakan pemakaiannya. Contoh penggunaan bahan aditif non pangan adalah penggunaan pewarna tekstil untuk pangan sebagai bahan pewarna makanan atau penggunaan Dulsin, Asam Salisilat, Nitrofurazon, formalin dan boraks sebagai pengawet bahan hewani (ayam, ikan) dan produk olahannya juga pengawet untuk tahu dan mie. Methanil Yellow dan Rhodamin B yang diketahui sebagai pewarna makanan yang dilarang penggunaannya.
            Formalin merupakan zat pengawet terlarang yang paling banyak disalahgunakan untuk produk pangan. Zat ini termasuk bahan beracun dan berahya bagi kesehatan manusia. Jika kandungannya di dalam tubuh tinggi, akan bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel sehinga menekan fungsi sel dan menyebabkan matinya sel yang menyebabkan keracunan pada tubuh.

·         Hidrogen Peroksida
            Minyak jelantah yang telah rusak dibuat kembali menjadi minyak yang secara fisik tampilannya baik. Tindakan pemalsuan ini dilakukan dengan memanaskan minyak jelantah sampai mendidih kemudian ditambahkan hidrogen peroksida sehingga warnanya menjadi jernih, kemudian minyak itu dijual kembali dengan klaim minyak baru. Tindakan ini melanggar UU No 7 tahun 1996 tentang pangan, UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, dan PP No 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan.

·         Logam berat Pb (timbal), Hg, Zn, Cu,
         Keracunan tetapi juga akibat mengasup makanan yang tercemar logam berat. Sumbernya sayur-sayuran dan buah-buahan yang ditanam di lingkungan yang tercemar atau daging dari ternak yang makan rumput yang sudah mengandung logam berat yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
         Akhir-akhir ini kasus keracunan logam berat yang berasal dari bahan pangan semakin meningkat jumlahnya. Pencemaran logam berat terhadap alam lingkungan merupakan suatu proses yang erat hubungannya dengan penggunaan bahan tersebut oleh manusia.
         Pencemaran lingkungan oleh logam berat dapat terjadi jika industri yang menggunakan logam tersebut tidak memperhatikan keselamatan lingkungan, terutama saat membuang limbahnya. Logam-logam tertentu dalam konsentrasi tinggi akan sangat berbahaya bila ditemukan di dalam lingkungan (air, tanah, dan udara).
         Sumber utama kontaminan logam berat sesungguhnya berasal dari udara dan air yang mencemari tanah. Selanjutnya semua tanaman yang tumbuh di atas tanah yang telah tercemar akan mengakumulasikan logam-logam tersebut pada semua bagian (akar, batang, daun dan buah).
         Ternak akan memanen logam-logam berat yang ada pada tanaman dan menumpuknya pada bagian-bagian dagingnya. Selanjutnya manusia yang termasuk ke dalam kelompok omnivora (pemakan segalanya), akan tercemar logam tersebut dari empat sumber utama, yaitu udara yang dihirup saat bernapas, air minum, tanaman (sayuran dan buah-buahan), serta ternak (berupa daging, telur, dan susu).
         Sesungguhnya, istilah logam berat hanya ditujukan kepada logam yang mempunyai berat jenis lebih besar dari 5 g/cm3. Namun, pada kenyataannya, unsur-unsur metaloid yang mempunyai sifat berbahaya juga dimasukkan ke dalam kelompok tersebut. Dengan demikian, yang termasuk ke dalam kriteria logam berat saat ini mencapai lebih kurang 40 jenis unsur. Beberapa contoh logam berat yang beracun bagi manusia adalah: arsen (As), kadmium (Cd), tembaga (Cu), timbal (Pb), merkuri (Hg), nikel (Ni), dan seng (Zn).
ü  Arsen
   Arsen (As) atau sering disebut arsenik adalah suatu zat kimia yang ditemukan sekitar abad-13. Sebagian besar arsen di alam merupakan bentuk senyawa dasar yang berupa substansi inorganik. Arsen inorganik dapat larut dalam air atau berbentuk gas dan terpapar pada manusia. Menurut National Institute for Occupational Safety and Health (1975), arsen inorganik bertanggung jawab terhadap berbagai gangguan kesehatan kronis, terutama kanker. Arsen juga dapat merusak ginjal dan bersifat racun yang sangat kuat
ü  Merkuri
Merkuri (Hg) atau air raksa adalah logam yang ada secara alami, merupakan satu-satunya logam yang pada suhu kamar berwujud cair. Logam murninya berwarna keperakan, cairan tak berbau, dan mengkilap. Bila dipanaskan sampai suhu 3570C, Hg akan menguap. Selain untuk kegiatan penambangan emas, logam Hg juga digunakan dalam produksi gas klor dan soda kaustik, termometer, bahan tambal gigi, dan baterai. Walaupun Hg hanya terdapat dalam konsentrasi 0,08 mg/kg kerak bumi, logam ini banyak tertimbun di daerah penambangan. Hg lebih banyak digunakan dalam bentuk logam murni dan organik daripada bentuk anorganik. Logam Hg dapat berada pada berbagai senyawa. Bila bergabung dengan klor, belerang, atau oksigen, Hg akan membentuk garam yang biasanya berwujud padatan putih. Garam Hg sering digunakan dalam krim pemutih dan krim antiseptik.
ü  Timbal
Logam timbal (Pb) merupakan logam yang sangat populer dan banyak dikenal oleh masyarakat awam. Hal ini disebabkan oleh banyaknya Pb yang digunakan di industri nonpangan dan paling banyak menimbulkan keracunan pada makhluk hidup. Pb adalah sejenis logam yang lunak dan berwarna cokelat kehitaman, serta mudah dimurnikan dari pertambangan. Dalam pertambangan, logam ini berbentuk sulfida logam (PbS), yang sering disebut galena. Senyawa ini banyak ditemukan dalam pertambangan di seluruh dunia. Bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan Pb ini adalah sering menyebabkan keracunan. 
Menurut Darmono (1995), Pb mempunyai sifat bertitik lebur rendah, mudah dibentuk, mempunyai sifat kimia yang aktif, sehingga dapat digunakan untuk melapisi logam untuk mencegah perkaratan. Bila dicampur dengan logam lain, membentuk logam campuran yang lebih bagus daripada logam murninya, mempunyai kepadatan melebihi logam lain. Logam Pb banyak digunakan pada industri baterai, kabel, cat (sebagai zat pewarna), penyepuhan, pestisida, dan yang paling banyak digunakan sebagai zat antiletup pada bensin. Pb juga digunakan sebagai zat penyusun patri atau solder dan sebagai formulasi penyambung pipa yang mengakibatkan air untuk rumah tangga mempunyai banyak kemungkinan kontak dengan Pb (Saeni, 1997).
Logam Pb dapat masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan, makanan, dan minuman. Logam Pb tidak dibutuhkan oleh manusia, sehingga bila makanan tercemar oleh logam tersebut, tubuh akan mengeluarkannya sebagian. Sisanya akan terakumulasi pada bagian tubuh tertentu seperti ginjal, hati, kuku, jaringan lemak, dan rambut.
ü  Tembaga
            Tidak seperti logam-logam Hg, Pb, dan Cd, logam tembaga (Cu) merupakan mikroelemen esensial untuk semua tanaman dan hewan, termasuk manusia. Logam Cu diperlukan oleh berbagai sistem enzim di dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, Cu harus selalu ada di dalam makanan. Yang perlu diperhatikan adalah menjaga agar kadar Cu di dalam tubuh tidak kekurangan dan juga tidak berlebihan.
            Kebutuhan tubuh per hari akan Cu adalah 0,05 mg/kg berat badan. Pada kadar tersebut tidak terjadi akumulasi Cu pada tubuh manusia normal. Konsumsi Cu dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan gejala-gejala yang akut. Logam Cu yang digunakan di pabrik biasanya berbentuk organik dan anorganik. Logam tersebut digunakan di pabrik yang memproduksi alat-alat listrik, gelas, dan zat warna yang biasanya bercampur dengan logam lain seperti alloi dengan Ag, Cd, Sn, dan Zn.
            Garam Cu banyak digunakan dalam bidang pertanian, misalnya sebagai larutan “Bordeaux” yang mengandung 1-3% CuSO4 untuk membasmi jamur pada sayur dan tumbuhan buah. Senyawa CuSO4 juga sering digunakan untuk membasmi siput sebagai inang dari parasit, cacing, dan juga mengobati penyakit kuku pada domba (Darmono, 1995).



DAFTAR PUSTAKA

Agus, A., Utami, M.P.D., Nuryono, Noviandi, C.T., Wedhastri, S., Maryudhani, Y.B., dan Sarjono. 2006. Cemaran Beberapa Jenis Mikotoksin pada Beberapa Produk Pangan dan Pakan Ternak di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kumpulan makalah Aflatoksin Forum di Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta.

Ali, N., Sardjono,  A. Yamashita, and T. Yoshizawa. 1998.  Natural occurrence of aflatoxins and fusarium mycotoxins (fumonisins, deoxinivalenol, nivalenol, and zearalenon) in corn from Indonesia.  Food. Add. Contaminant. 15: 377-384.
Ani Isnawati, Daroham Mutiatikum, Nikmah B. 2002. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Vol 12, No 3.
Badan Pengawas Obat Dan Makanan RI. 2003. Peraturan di Bidang Pangan. Direktorat Surveilan Dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Deputi Bidang
Badan Pengawas Obat Dan Makanan RI. 2007. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan http://www.fao.org/docrep/X5036E/x5036E1e.htm. 17 Juni 2006.
Bahri, S., Maryam, R dan Widiastuti, R. 2002. Materi Kuliah pada Workshop on “Grain and Feed Quality”, Bogor 30 Januari -1 Pebruari 2002
Bahri, S., Ohim, Maryam, R. 1995. Residu aflatoksin M1 pada susu sapi dan hubungannya dengan keberadaan afaltoksin M1 pada pakan sapi. Kumpulan Makalah Lengkap Kongres Nasional Perhimpunan Mikologi Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia I dan Temu Ilmiah. Bogor, 21-24 Juli 1994. Hal: 269-275
Bhat, R.V. and J.D.Miller.  1991.  Mycotoxins and food supply.  FAO, Food, Nutrition and Agriculture, 1: 27-31
Cardona T.D., Ilangantileke S.G., and Noomhorm A. 2006. Aflatoxin Research on Grain in Asia - Its Problems and Possible Solutions. Pengawasan Keamanan Pangan Dan Bahan Berbahaya. Jakarta. Hal 2, 4, 15 , 21 , 30.
Cole, R.J., Cox, R.H (Eds.). 1981. Handbook of Toxic Fungal Metabolites. Academic press, New York, pp 1850
Departemen Kesehatan RI (1997). Program dan Kegiatan Pengawasan Makanan. Buletin Direktorat Jenderal Pengawasan Ohat dan Makanan. Jakarta. Vol. 19. No.2. Hal. 10- 17.
Freddy, S., and Waliyar, F. 2000. Properties of Aflatoxin and It Producing Fungi. http:www.aflatoxin.info/aflatoxin.asp. 28 September 2009.
Kubena, LF., Edrington, TS., Harvey, RB., Buckley, SA., Phillips, TD., Rottinghaus, GE., casper, HH. 1997. Individual and combine effects on fumonisin B1 present in Fusarium moniliforme culture material ant T-2 toxin or deoxynivalenol in broiler chicks. Poultry Science 76(9): 1239-1247
Kuiper-Goodman, T. 1996. Risk assessment of ochratoxin A: An update. Food. Addit.Contam. 13 (Suppl): 553-557
Maryam, R., Bahri, S., Zahari, P. 1994. Deteksi aflatoksin B1, M1 dan Aflatoksikol dalam Telur dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Prosiding Teknologi Veteriner untu Kesehatan Hewan dan Keamanan Pangan. Bogor, 22-24 Maret 1994.
Maryam, R. 2000a. Fumonisin: Kelompok mikotoksin fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia (Indonesian Journal of Medical Mycology),  1(1): 51-57.
Maryam, R. 2000b. Kontaminasi Fumonisin pada bahan pakan dan pakan ayam di Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 September 2000. Pusat Penelitian Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertania, Departemen Pertanian. Hal.538-542
Miller, JD., Savard, ME., Sabilia, A., Rapior, S., Hocking, AD, Pitt, JI. 1993. Production of fumonisins and fusarins by Fusarium moniliforme from South East Asia. Mycologia 85(3): 385-391
Muhilal and D.Karyadi. 1985. Aflatoxin in nuts and grains. Gizi Indonesia. Vol.X (1): 75-79
Sinha, K.K.1993. Mycotoxins. ASEAN Food Journal. 8(3): 87-93
Sudjadi, S., Machmud, M., damardjati, D.S., Hidayat, A., widowati, S., Widiati, A. 1999. Aflatoxin research in Indonesia. Elimination of Aflatoxin Contamiation in Peanut. Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra, pp.23-25
Trisiwi. 1996. Identifikasi kapang penghasil mikotoksin pada pakan ayam pedaging dan petelur di kotamadya Bandar Lampung. Skripsa Sarjana, Universitas Lampung

1 komentar:

Posting Komentar