Senin, 24 Oktober 2011

Apa pun yang kau putuskan, bagaimana pun kamu menolaknya, cinta itu akan tetap berada di sana, menunggumu mengakui keberadaannya.


Pada hari kamu memutuskan untuk nggak lagi jalan sama-sama aku, aku masih meyakinkan diri bahwa aku akan baik-baik saja. Toh, selama ini kita pun kita terkadang berdiri di sudut yang berseberangan, bahkan, hal yang kecil saja mampu meruntuhkan kepercayaan diantara kita. Toh, ini yang kamu inginkan. Tapi aku salah, aku bahkan nggak bisa bernafas lega tanpa senyuman itu. Tanpa Senyumanmu.

Hari ini, aku memutuskan untuk nggak ikut Amah ke Semarang. Aku takut hati aku semakin sakit. Dan Aku masih menjalani rutinitas seolah-olah tidak terjadi apa-apa di depan Ibu. Tadi larut malam, Ibu memutuskan untuk mengunjungi kamarku. Memastikan aku dan Amah aman di dalamnya, Ibu nggak tahu aku menangis di dalam bantal dan selimut. Aku ingin sekali bersembunyi dari Ibu. Setetes air mata aku, bukan apa-apa jika di bandingkan setetes air mata Ibuku. Aku nggak ingin Ibu sedih melihat keadaanku. Aku nggak ingin Ibu tahu, anak perempuannya sedang menangis karena hatinya terluka.

Aku tidak bisa tidur lagi setelahnya. Hanya memandang langit-langit, memperhatikan retakan halus dan sarang laba-laba yang mulai merembeti sudut kamar dan poster-poster. Lalu Aku mencoba mematikan lampu, tapi kegelapan membuatku semakin takut. Sampai akhirnya, aku terlelap, dalam usahaku untuk tidak memikirkan kamu.

Tapi mimpi itu datang.

Kata orang, mimpi adalah bunga tidur. Mencerminkan harapan, ketakutan, pertanda, dan apa pun itu yang pernah melintasi pikiran bawah sadarmu. Semalam, aku bermimpi tentang kamu. Tapi aku tidak dapat melihat wajahmu - hanya punggung yang berjalan menjauh, siluet yang semakin lama semakin samar, sampai akhirnya menghilang seluruhnya. Entah fatamorgana, entah apa. Lalu kamu hilang bersama hujan yang merintik dari langit.

Biasanya, apa pun yang kita ributkan, baik masalah kecil maupun besar, akan berakhir dengan saling berpelukan, kita bahkan selalu menyakini bahwa sebuah masalah mampu menguatkan tali cinta kita. Mungkin aku yang terlalu naif dalam berhipotesis, masalah kali ini sama seperti sebelum-sebelumnya, dan hanya dalam beberapa jam aku akan melihat kamu lagi, dengan senyum terindahmu seperti dulu. Tapi kurasa dalam hati, aku tahu, saat kamu bilang kamu akan pergi, kali ini kamu tidak main-main.

Apakah mungkin kita sudah terlalu lama menganggap satu sama lain sebagai property? Sudah terlalu lama saling memiliki, dan sudah menyerahkan setiap bagian dari diri kepada satu sama lain. Karena setiap jejak di permukaan kulitku adalah milikmu, setiap serat dari rasa yang aku punya pernah kamu sentuh. Kamu pernah masuk ke dalam ruang paling gelap dalam diriku, begitu pun aku pernah melihat saat-saat terburuk maupun terbaikmu. Namun, itu saja ternyata tak cukup untuk saling memiliki.

Dan terkadang, rasa saling memiliki yang terlalu kuat justru membuatku terlalu yakin bahwa kamu tidak akan pergi. Aku salah. Sekali lagi. Dan kali ini, seperti yang kubilang, kamu tetap ingin pergi. Kamu tetap ingin menyublimkan janji-janji yang pernah kamu ucap.

Aku tidak ingin menangis. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kutangisi - apakah aku harus tersenyum, tertawa, marah, atau apa? Yang kutahu, yang kurasakan adalah rasa kosong di dalam dada yang terasa sesak. Jika aku menangis, apakah rasa itu akan hilang? Jika aku tertawa, apakah rasa itu juga akan hilang? Aku hanya butuh sebuah alasan untuk melakukan salah satunya. "Aku mencintaimu," kataku

“ Mengertikah kamu apa artinya cinta? Mengertikah kamu kalau kita tak akan bisa berada dalam cerita yang sama, dengan sore yang sewarna?” katamu. Tapi aku tak akan pernah benar-benar mendengarkan kata-katamu!

Mungkin sedikit berbohong itu Indah. Dan aku masih terus meyakinkan diri, aku bisa melakukan apapun, seperti yang selalu kulakukan, ada maupun tanpa kamu. Kamu pikir ini jalan terbaik. Yahh, seperti biasa, kamu yang selalu bilang aku egois. Tanpa kamu sadar, orang yang egois adalah orang yang mengatakan orang lain egois. Karena orang tersebut nggak mikirin perasaan orang lainnya. Lalu, sebenarnya siapa yang kali ini egois?

Aku melewati jalan yang biasa menuju ke Terminal- dua kali lampu merah, menikung ke kiri, melewati stasiun kereta yang pada malam hari dijadikan tempat berkumpulnya preman-preman untuk bermain kartu, kemudian berhenti di terminal. Ya ampunn, mata aku bengkak banget? Fiuh. Nggak masalah.

Setelah tiba di rumah, yang kulakukan adalah memastikan dua kali bahwa lenganku nggak patah oleh kejadian singkat tadi. Ayah yang menjemputku, setelah aku menghubunginya sambil nangis. Wajahnya cemas campur marah melihatku merusakkan motor dan lenganku sendiri. Aku hanya terisak.

Tuhan, kenapa harus dia yang selalu memenuhi pikiranku? Kenapa harus dia yang membuatku menangis saat mendengar namanya? Kenapa harus dia yang melakukan ini padaku? Padahal aku selalu mempercayakan hatiku sama dia. Dan itu kulakukan karena aku tahu, dia nggak akan membantingnya. Aku pikir, dia akan menjaganya sebagai kekayaan terbesarnya. Tapi itu semua bohong. Kemudian aku merangkak ke atas tempat tidur, masih dalam pakaian lengkap. Aku masih merasa aku akan baik-baik saja. Mengalir indah.

Aku melamun dalam sakit.

Kamu lebih pengen aku mengukir namamu sebagai penghancur hati aku? Daripada sebagai seseorang yang sangat aku cintai? Ya Tuhan..” tapi kamu menghiraukan sms itu.

“ Padahal kamu tau aku nggak bisa tersenyum tanpa kamu. Tapi kamu anggap ini keputusan terbaik? Terbaik dari sudut pandangmu kan? Karena kamu nggak pernah melihat dari sudut pandangku. Kamu selalu bfikir sesuai pikirmu..” Dan sms itupun juga enggan kamu baca. Kamu pernah mengalami rasa sakit seperti ini, kamu tahu bagaimana perihnya, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyembuhkannya. Tapi kamu tega memberikan luka ini sama aku. Aku bener-bener nggak nyangka kamu se jahat ini. Arrrrghh…

“Jujur, dari tadi siang aku uda mikir kamu menghindar dari aku. Nggak pernah ada kata-kata sayang lagi, nggga mau cerita lagi, sms aku juga di bales seadanya, aku sampai cerita ke ibu. Padahal biasanya kalo tentang sms aku nggga pernah cerita..”

“ Ternyata bener yah? Kamu nggak pengen aku merasa sangat kehilangan kamu suatu saat nanti? Kamu justru pengen suatu saat besok aku bersorak. Toh kamu pernah nyakitin aku. Iyaa?” Seperti sms yang lainnya, kamu memilih diam.

“Tanpa kamu tau, aku udah sadar kok. Aku mengambil banyak resiko saat aku mulai cinta sama kamu.. Lalu aku berjanji sama diri sendiri, aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Sedetikpun. Satu senti pun. Mungkin kalo aku nggak bener-bener sayang ma kamu, aku udah ninggalin kamu berbulan2 yang lalu.. Tapi kamu beda. Aku bahkan nggak pernah ngerasain hal yang sama sebelum nya.. Tapi aku terlalu naif. Karena aku berfikir, kamu juga pengen sama2 aku.. Pengen selalu jalan berdua.. Naif banget..”

“Kamu nggak bisa tentuin mana yang terbaik atau yang terburuk buat aku. Hanya aku yang tau. Kamu pikir keputusan kamu udah bijaksana? Bener? Berarti bener kamu udah nggak peduli. Kamu juga udah nggak peduli perasaan aku yang kamu injak injak..” Dan keinginanku kamu anggap sebagai rasa egoisku. Hufft.

Selamat berbahagia dengan keputusanmu. Kita putus. Meskipun bukan ini yang aku inginkan. Tapi kalo kamu seneng, aku nggak bisa maksa kamu. Kita tutup buku. Lupain kisah dekil dan tengil. Anggap aja nggak pernah ada cerita itu. Aku sia sia mempertahankan nya sendirian. Aku sia sia menjaga janji yang aku kira suci tetapi hanya palsu. You are not angel. But you are monster. You eat my heart.. I am so stupid girl…

Beb! Hanya cowok Bodoh yang tega membuang cinta kamu. Hanya cowok egois yang nggak menghargai ketulusanmu. Buat apa sih kamu nangisin cowok kayak dia? Belum tentu juga dia sedih putus sama kamu. Akhirnya dia menjadi pengecut. Dia bahkan nggak percaya dia bisa membuatmu bahagia. Hingga akhirnya dia memilih melepasmu. Dia pikir itu jalan terbaik. Hahaha.. suara peri jahat memenuhi ruang telingaku

Beb! Percaya sama aku, Dia punya alasan kenapa dia ngelakuin hal ini. Tunjukkin kalo kamu masih ada buat dia. Buktiin kalo sayapmu lah yang mampu membawanya terbang. Air mata itu nggak akan pernah sia-sia. Itu bukti kalo selama ini kamu membutuhkannya. Yakinkan dia kamu selalu ingin bernafas dengannya. Mana Bebi yang pantang menyerah?

Tapi Beb! Buat apa kamu mempertahankan semuanya sendirian? Rumah kecil yang kalian bangun telah runtuh. Dan Kamu nggak akan mampu membangunnya lagi tanpa dia. Kamu bisa kok tersenyum tanpa dia. Justru dia yang akan menyesal udah ninggalin kamu. Keep smile! Kata peri jahat lagi.

Beb! Kalian udah sama-sama hampir 1,5 tahun kan? Dan itu bukan waktu yang singkat dalam sebuah ikatan. Bahkan semua hati kamu saat ini masih miliknya kan? Aku yakin Dia hanya sedikit khilaf. Sadarkan dia Beb! Ujar peri baik terisak.

Aku terbangun dari kondisi basalku tadi. Bukan itu yang harus aku pikirkan. Hari ini Wisnu menjalani Operasi antara hidup dan mati. Seharusnya aku berdoa untuk kesembuhannya. Cinta yang tulus, adalah ketika kamu mampu tersenyum saat melihatnya bahagia, meskipun bahagianya bukan denganmu. Dan meskipun harus ada rasa sakit di sekitar senyum buatan mu.

‘Tapi kenapa kamu nggak terlalu mempercayaiku? Jika memang aku harus kehilanganmu, aku ingin kehilangan itu mampu membuahkan kenangan manis walau harus sakiiit, seperti saat aku mengenalmu. Perkenalan yang indah. Dan Aku bisa melepasmu di pelukanku. Seperti janji kamu dulu. Bukan dengan cara sepahitt ini.. Rasanya sangat sakitt.

Saat aku ingin menyentuhmu, entah kenapa kamu selalu menghindar.. Aku memang bukan siapa-siapa, aku juga bukan peletak bahagiamu.. Tapi aku selalu berusaha, berusaha menjadi alasan di setiap nafas dan detak jantungmu.. Aku mungkin egois, karena aku nggak pernah peduli dengan semua rasa yang kamu rasakan.. Aku juga bukan obat, yang bisa ringankan rasa sakit itu.. Aku hanya manusia kecil, yang mencintaimu.. Dengan cinta yang begitu besar.

Tapi menurutmu itu sebuah kesalahan. Ya, apakah aku emang nggak pernah memilikimu selama ini? Bahkan ketika hampir 18bulan ini, aku selalu beranggapan begitu. Ini bukan salah kamu kog. Tapi kamu juga jangan nyalahin cinta aku ke kamu. Aku yang salah, seharusnya aku nggak percaya dengan kata cinta. Seharusnya aku nggak mengikuti arusnya. Seharusnya aku nggak pernah kenal sama kamu!!! Kamu cuma pengecut. Kamu buang aku. Padahal aku bener-bener tulus sama kamu. Aku terima kamu dengan semua kekuranganmu. Tapi kamu malah bikin aku nyesel. Dan selalu berfikir, hadirmu bukan lagi apa apa buatku. Semoga matahari hari ini menguapkan bola salju kita. Lenyap.

Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu.

Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu.

Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu.

Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu.

Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu.

Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu.

Tapi aku sangat mencintaimu. Dan ratusan kata benci itu, nggak mampu mengalahkan rasa cinta aku buat kamu. Kenyataannya, rasa itu tetap ada. Bahkan aku baru tahu kalo cinta itu ternyata sangat besar untukmu.

Maafin aku, yang nggak pernah bisa mengisi secara nyata ruang kosong di hati kamu. Aku hanya menyamarkan nya, bukan? Aku nggak bisa benar-benar membuatmu bahagia, bukan? Maaf. Aku jadi mengingat semuanyaa.. Inget saat pertama kenal kamu. Saat aku pikir kamu sok deket. Saat aku mulai ngerasa nyaman sama kamu. Atau saat-saat aku harus sembunyiin perasaan aku dari kamu dan dia. Aku jealous.. Aku marah-marah nggak terima kamu milih dia. Kamudian aku dibuat kamu tersenyum tiap hari. Bola salju itu awalnya satu tetes. Dan kita selalu merawatnya. Memupuknya. Menjaga suhunya. Hingga bola itu sangat besar. Dan Aku minta, jangan hancurkan bola itu.

Aku ingin melawan kegelapan, melawan kebingungan hati aku, aku bahkan nggak tahu apakah yang telah hilang ? Yang aku rasakan sekarang, hidupku sangat terancam, terancam kesedihan yang selalu sewenang wenang, kesedihan yang memaksa air mataku berlinang. Tuhan, apa aku harus kehilangan dia dengan cara yang seperti ini? Apa aku harus melepasnya dengan kebencian? Apa cobaan ini nggak terlalu berat? Aku nggak bisa bayangkan gimana rasanya, kehilangan seseorang, yang (bahkan) selama ini belum sepenuhnya aku miliki. Rasanya pasti sesak banget. Bernafas tanpa udara yang selalu menemaniku.

Hari ini langit sangat mendung. Akhir pekan yang sangat buruk bagiku. Lenganku yang masih terasa sakit saat di gerakin, Dia yang masih terbaring lemah tanpa aku bisa berbuat apa-apa untuknya. Dan rasa bersalahku yang melingkar di sudut hati. Aku nggak boleh lemah! Tapi berat banget. Aku bahkan nggak punya saat terakhir untuk menatap wajah itu. Atau saat terakhir menggenggam lembut tangannya, jika memang dia harus pergi. Aku nggak punya semuanya. Maafkan aku bila aku tetap menangis. Aku tahu, kamu nggak akan pernah suka dengan suara tangisku. Tapi aku nggak mampu menyamarkan rasa perih itu. Maafin aku. Aku sangat nggak rela kamu ninggalin aku.

Maafkan aku atas semua. Atas apa yang pernah kita lewati bersama. Dan rasa yang tak bahagia. Berilah waktu untukku. Sebentar saja. Agar aku Mengulang kembali Cita-cita kita yang terhenti. Agar aku bisa membuatmu lebih bahagia. Membuatmu lebih mudah untuk tersenyum.

Ujian hari ini, sangat tanpa persiapan. Tapi tadi malam, aku udah merelakan hampir separuh malam untuk menatap buku dan materi. Semoga saja hasilnya memuaskan. Amin!

APAAAA????” Teriak Dii dan Mpii bersamaan. Mereka syok stadium berat ketika aku sempat ngomong Wisnu mutusin aku.

“ Kenapa teriak sekenceng itu?” tanyaku. Teman, teriakan itu membuatku sakiit. Teriakan itu membuatku tahu, bahwa kalian juga nggak menginginkan hal itu. Mpii dan Dii mendengus sejenak. Menggerutu kecil.

“ Aku nggak akan pernah percaya dia ngelakuin itu Beb! Kenapa coba? Dia pengen nge-test kamu aja mungkin? Apakah kamu tetap disisinya ketika dia lemah, atau kamu justru memunggunginya.” Komentar Mpii pelan.

“ Atau mungkin, dia nggak pengen kamu terlalu larut dalam kesedihan. Tenang Beb! Yang terpenting saat ini adalah kamu berdoa buat dia. Okey? Trus yang pasokin jawaban ke kamu siapa donk?” Mpii langsung menjambak sebagian besar rambut Dii yang terurai berantakan. Aku tertawa kecil.

Masih ada rasa sepi yang mengejek ruang dadaku. Sesosok monster yang berteriak nggak tenang menandakan kecemasanku. Dan peri jahat atau peri baik yang memberikan sugesti nggak penting. Dan empat pasang mata pengawas yang dari tadi bertebaran mengisi setiap sudut ruang ujian. Dan pulpenku yang terus menari tanpa henti untuk melukiskan serangkai jawaban. Dan tangan kiriku yang menggenggam erat handphone untuk berkomunikasi dua arah dengan mba Retno. Itu semuan bercampur jadi satu.

Ayolah yank… bernafaslah untukku. Untuk Ibu. Dan untuk semua orang yang menyayangimu dengan hati. Aku percaya kamu masih punya cinta untukku. Seberapa keukeuh kamu ingin membuangnya, dia tak akan pernah berubah, dia tak akan pernah membuat celah untuk yang lain. Dia tetap disini. Di dalam hatimu. Dan hatiku.

Aku menenggelamkan diri di kertas ujianku. Bersama dengan puluhan anak lain, dengan isi masalah yang berbeda-beda. Dan ujian tulis ini nggak pernah mempunyai toleransi. Mungkin nggak sih ujian di undur sebulan lagi gara-gara aku terancam putus? Hehe.

0 komentar:

Posting Komentar